BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang dan Masalah
1.1. 1 Latar
Belakang
Puisi merupakan bentuk
karya sastra yang tergolong paling tua. Namun, sampai sekarang tidak ada
definisi yang mutlak mengenai puisi. Sejak kelahirannya, puisi memang sudah
menunjukkan ciri khas seperti yang kita kenal sekarang. Meskipun puisi telah
mengalami perkembangan dan perubahan tahun demi tahun, bentuk karya sastra ini
memang dikonsep oleh pencipta atau penyairnya sebagai puisi dan bukan bentuk
prosa yang kemudian dipuisikan. Namun secara garis besar puisi adalah karya
sastra yang memiliki unsur-unsur keindahan (estetis).
Dalam sejarah
perkembangan puisi, dikenal jenis puisi kontemporer. Sastra kontemporer adalah
karya sastra yang muncul sekitar tahun 70-an, bersifat eksperimental, memiliki
sifat-sifat yang “menyimpang” dari konvensi-konvensi sastra yang berlaku biasa
atau umum. Sastra kontemporer muncul sebagai reaksi terhadap sastra
konvensional yang sudah beku dan tidak kreatif lagi. Hal inilah yang membut
pusi kontemporer menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Karya sastra adalah
fenomena yang berbunga-bunga sehingga peneliti diharapkan dapat meneliti dan
mengungkap keindahan didalamnya. Keindahan adalah ciptaan pengarang dengan
seperangkat bahasa. Melalui eksplorasi bahasa yang khas, pengarang akan
menampilkan aspek keindahan yang optimal. Untuk mengkaji keindahan karya sastra
pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan estetika.
1.1. 2
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis merumuskan perumusan makalah sebagai berikut :
1. Apa
yang dimaksud dengan estetika ?
2.
Bagaimana cara menyajikan unsur-unsur
keindahan bentuk dan makna dalam karya
sastra
3.
Bagaimana menyajikan nilai estetika dalam puisi-puisi Sutardzi Calzoum Bachri ?
1.2 Tujuan
Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah di atas,
tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1.
Mendeskripsikan apa yang dimaksud
dengan estetika.
2. Menyajikan
unsur-unsur keindahan bentuk dan makna dalam karya sastra.
3.
Menyajikan nilai estetika dalam puisi-puisi Sutardzi Calzoum Bachri.
1.3 Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan penulisan di atas, manfaat yang
diharapkan dari penulisan makalah adalah :
1.
Secara teoritis, manfaat
penelitian ini adalah dapat digunakan untuk menambah wawasan pengetahuan,
mengetahui, dan memperluas tentang apa yang dimaksud dengan estetika, bagaimana
cara menyajikan unsur-unsur keindahan bentuk dan makna dalam karya sastra dan bagaimana menyajikan konsep
keindahan (estetika) dalam puisi-puisi
Sutardzi Calzoum Bachri.
2.
Secara praktis, manfaat tulisan
dapat menjadi sebuah referensi bagi penulisan-penulisan tugas sastra
kontemporer yang akan digunakan untuk kedepannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Estetika dan Pendekatan Estetika
2.1.1
Pengertian Estetika
Istilah estetika berasal dari bahasa latin “aestheticus”
atau bahasa Yunani “aestheticos” yang bersumber dari kata “aithe” yang berarti
merasa. “Estetika dapat didefinisikan sebagai susunan bagian dari sesuatu yang
mengandung pola. Pola mana mempersatukan bagian-bagian tersebut yang mengandung
keselarasan dari unsur-unsurnya, sehingga menimbulkan keindahan.” (Effendy,
1993)
Estetika
adalah ilmu tentang keindahan. Estetika merupakan cabang filsafat yang membahas
keindahan yang melekat pada karya seni. Istilah estetis, biasanya merujuk pada
indah, tentang keindahan, atau memiliki nilai keindahan. NIai estetis sebuah
karya seni, dalam ha lini puisi, mampu memberikan hiburan, kepuasan,
kenikmatan, dan kebahagiaan batin ketika puisi itu dibaca, didengarkan, atau
diresapi. Ada keindahan yang terkait dengan bahasa dan ada keindahan terkait
dengan isi, makna, amanat, atau struktur mentalnya. Puisi mengandung keindahan
fisik terkait dengan bahasa dan sekaligus keindahan struktur batinnya.
Kandungan makna di dalam puisi, misalnya, banyak memberi manfaat bagi
kehidupan, sebab makna itu terkait dengan nasihat, petuah, ajaran tentang
moral, budi pekerti mulia, nilai kebijakan, keutamaan, dan keluhuran yang dapat
menuntun ke arah jalan kebenaran.
Fungsi Estetik dalam
sebuah karya sastra khususnya puisi, fungsi estetiknya dominan dan di dalamnya
ada unsur-unsur estetiknya. Unsur-unsur keindahan ini merupakan
unsur-unsur kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama dan
gaya bahasanya. Gaya bahasa meliputi semua penggunaan bahasa secara khusus
untuk mendpatkan efek tertentu, yaitu efek estetikanya atau aspek
kepuitisannya. Jenis-jenis gaya bahasa itu meliputi semua aspek bahasa,
yaitu bunyi, kata, kalimat dan wacana yang dipergunakan secara khusus untuk mendapatkan
efek tertentu itu (Pradopo. 1997: 315).
Aktivitas
apresiasi puisi terkait dengan keindahan dan kualitasnya. Setiap aktivitas
apresiasi puisi tentu berusaha menikmati keindahan serta menukar mutu yang
terkandung di dalam puisi. Hubungan antara keindahan dan kualitas puisi dapat
dibandingkan dengan rangkaian permata yang disamping mempunyai keindahan bentuk
juga memiliki kualitas. Sebuah puisi memiliki keindahan apabila puisi itu
memiliki susunan atau komposisi yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1.
Keutuhan (unity)yang membentuk
unsur-unsur sistem puisi
2.
Keselarasan (harmony) unsur-unsur yang
mendukung puisi,
3.
Keseimbangan (balance) antara bentuk,
isi, dan ekspresi, dan
4.
Adanya fokus (right emphasis).
Sebuah
puisi dinilai memiliki keindahan apabila keempat syarat itu terpenuhi. Semakin
terpenuhi keempat syarat itu, maka semakin estetislah sebuah puisi. Terkait
empat syarat keindahan di atas dapat diajukan 10 konsep puisi yang berkualitas
yaitu :
1.
Puisi dapat dikatakan berkualitas
apabila merupakan usaha merekam isi jiwa penyairnya.
2.
Puisi yang berkualitas adalah puisi yang
komunikatif.
3.
Puisi yang berkualitas menunjukkan
adanya keteraturan
4.
Puisi yang berkualitas mampu menunjukkan
adanya integrasi semua unsur, aspek,dan komponen pembentuk puisi.
5.
Puisi berkualitas menunjukkan adanya
penemuan.
6.
Puisi yang berkualitas menunjukkan
ekspresi penyairnya.
7.
Puisi yang berkualitas selalu
pekat,kental,kenyal, lentur,luwes,dan dinamis.
8.
Puisi yang berkualitas selalu berisi
penafsiran kehidupan
9.
Puisi yang berkualitas mampu menunjukkan
adanya pembaruan, baik dalam tataran ide,kemasan, bentuk,bahasa, dan
ekspresinya.
10.
puisi yang berkualitas mampu memberikan
penghiburan spiritual, batiniah, rasa senang, puas, mempesona,dan mungkin
membius pembacanya.
2.1. 2
Unsur-unsur
Keindahan Bentuk dan Makna dalam Karya Sastra
Secara umum, aspek-aspek keindahan dalam
sastra lebih banyak ditentukan oleh gaya bahasa, meskipun begitu, aspek
keindahan yang lain juga tetap memberikan peranan penting dalam membentuk
kesatuan unsur estetika dalam sastra, seperti susunan bait dalam puisi dan rima
yang terkandung di dalamnya, dalam puisi lebih khusus menekankan unsur estetika
yang dibentuk oleh gaya bahasa, karena bahasa merupakan media utama karya
sastra dalam hal ini puisi.
Bahasa secara khusus telah memberikan
peranan penting dalam eksistensi karya sastra karena bahasa merupakan sistem
simbol yang dapat diterjemahkan meski dengan pemahaman yang berbeda-beda.
kemudian dengan kebebasan pemahaman tersebut maka muncullah licensia poetica,
yakni kebebasan seorang penyair untuk melanggar aturan formal dalam tata
bahasa. Jika diuraikan secara relevan antara unsur estetika dengan kandungan
dalam puisi maka setidaknya ada beberapa poin yang dapat dilihat:
1.
Kesatuan
2.
Kejelasan
4. Perimbangan
5.
Warna
2.2 Nilai Estetika dalam Puisi-Puisi
Sutardzi Calzoum Bachri
1.
s
e p i s a u p i
s e p i s
a u
l u k a
s e p i s
a u d u r i
s e p i k
u l
d o s a
s e p u k
a u s e p i
s e p i s
a
u
d u k a
s e r i s
a u d i r i
s e p i s
a u
s e p i
s e p i s
a u
n y a n y
i
s e p i s
a u p a
s e p i s
a u p i
s e p i s
a p a n y a
s e p i k
a u s e p i
s e p i s
a u p a
s e p i s
a u p i
s e p i k
u l s i r i
k e r a n
j a n g
d u r i
s e p i s
a u p a
s e p i s
a u p i
s e p i s
a u p a
s e p i s
a u p i
s e p i s
a u p a
s e p i s
a u p i
s a m p a
i
p i s a u
N y a
k e d a l
a m
n y a n y
i
Nilai
keindahan/estetis pada puisi tersebut ditampilkan dengan permainan kata yang
memakai vokal /i/, /u/, dan /a/ sehingga menimbulkan rasa gembira, riang,
ringan dan tinggi. Dengan konsonan /s/ dan /p/ menimbulkan suasana yang kacau
dan tidak teratur pada puisi tersebut. Perwujudan nilai keindahan juga muncul
dari pengulangan-pengulangan kata sepisaupa dan sepisaupi. Selain
itu pemunculan nilai keindahan juga dilakukan dengan pengulangan afiks se- dan
adanya penekanan pada sepisaupa dan sepisaupi.
Dari
segi unsur bentuk, keindahan puisi tersebut terlihat pada perualangan bunyi
yang ditimbulkan dari rima.Rima puisi ini digarap sangat mengesankan oleh
Sutardji, dengan menggunakan pola rima a a, yaitu di setiap akhir larik puisi
ini diakhiri dengan bunyi i. Sehingga menimbulkan suasana bunyi yang merdu dan
indah.
Permainan
kata yang dilakukan Sutardji banyak kita dapati dalam puisi ini. Yang paling
menonjol adalah pada kata sepisaupi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
kata ini merupakan hasil dari penggabunngan beberapa kata. Kata tersebut yaitu
/sepi/, /pisau/, /api/. Jika kita perhatikan setiap kata tersebut mengandung
vokal i.
Selain
itu puisi ini banyak menggunakan bunyi konsonan s dan p. Efek /s/ dan /p/ pada
“sepisaupi” menimbulkan efek magis dan efek penggunaan fonem tersebut
berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar
seperti mantra. Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang
berurutan dalam baris-baris puisi menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan,
kemerduan atau keindahan bunyi. Terdapat pada kata,
Sepisaupa
Sepisaupi
Sepisapanya
Pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Terdapat pada kata,
Sepisaupa
Sepisaupi
Sepisapanya
Pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Terdapat pada kata,
sepisaupa
sepisapanya
nyanyi
Unsur Nada dan Suasana puisi yang terlukiskan pada puisi tersebut adalah suasana magis. Efek magis ditimbulkan Sutardji melalui pengulangan kata serta pengobrak-abrikan kata dalam puisi sepisaupi ini. Kata sepisaupi jika didengarkan seperti mantra. Hal itu dikarenakan penggabungan kata-kata sepi dan pisau jika dibaca tanpa putus kita akan dapat menangkap makna dari sepi dan pisau itu. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi” menimbulkan efek magis, dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra.
sepisapanya
nyanyi
Unsur Nada dan Suasana puisi yang terlukiskan pada puisi tersebut adalah suasana magis. Efek magis ditimbulkan Sutardji melalui pengulangan kata serta pengobrak-abrikan kata dalam puisi sepisaupi ini. Kata sepisaupi jika didengarkan seperti mantra. Hal itu dikarenakan penggabungan kata-kata sepi dan pisau jika dibaca tanpa putus kita akan dapat menangkap makna dari sepi dan pisau itu. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi” menimbulkan efek magis, dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra.
Efek
magis yang murni pada puisi tersebut juga dapat kita lihat dari
pengulangan-pengulangan (repetisi) seperti pada mantra. Sepisau, sepisaupa,
sepisaupi, begitu banyak diulang-ulang dalam puisi ini. Bila diperhatikan lebih
lanjut, efek yang diperoleh dari perulangan kata-kata yang tidak jelas artinya
ini seakan-akan menunjukkan sesuatu yang gaib. Dalam puisi, untuk memberi
gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat
(lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk menarik
perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran). Hal
tersebut juga dapat dilihat dari bait kedua yang isinya tak jauh beda, yaitu
menceritakan tentang sebuah penderitaan “sepikul diri keranjang duri”. Larik
tersebut mengandung majas hiperbola, yang digunakan untuk
memperkuat makna penderitaan yang luar biasa.
memperkuat makna penderitaan yang luar biasa.
2. KAKEKKAKEK & BOCAH BOCAH
kakekkakek
tidur di pantai
dan bocahbocah main
neylinap di ketiak mereka
masuk di kelengkang mereka
menguak mimpi mereka
dalam pasir
dan tertawa terkekehkekeh
dan
kakekkakek
bangun
menemukan diri
tertawa
terkekehkekeh
angin
datang
menyibak pasir
dan kakekkakek
menemukan
tulangbelulang sendiri
di dalam pasir
lalu menangis
dan tidur kembali
dan bocahbocah tertawa
terkekehkekehkehkehkeh
Puisi
di atas memiliki susunan kata yang bebas, tidak selalu mengikuti kaidah
kebahasaan. Tata wajah puisi pun tidak terikat pada model konvensional.
Tampak dengan jelas dengan penyusunan kata dan tata wajah seperti di atas, akan
sangat berbeda apabila disusun secara biasa. Misalnya kakekkakek akan
memberikan rasa yang berbeda bila disusun menjadi kakek-kakek.
Penyusunan puisi tersebut mampu memberi kesan baru pada rasa dan visual
pembaca.
3.
Mantera
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mangasapi duka
puah!
kau jadi Kau
Kasihku
Dilihat
dari bentuk sajaknya, sajak ini terdiri dari dua bait yang tidak simetris. Bait
pertama terdiri dari delapan larik dan yang ke dua terdiri dari tiga larik.
Keadaan tak sebanding ini memberi kesan berat, adanya tekanan. Sesuai dengan judul,
maka interpretasi yang timbul kemudian adalah adanya masalah, dan untuk
mengembalikan pada keadaan semula,
pada harmoni, diperlukan mantra. Dilihat dari rimanya, tidak banyak rima yang terdapat pada larik-larik awal atau akhir seperti yang biasanya terdapat pada sajak tradisional, tetapi persamaan bunyi vokal selarik atau asonansi banyak ditemukan. Memang, mantra pada prinsipnya adalah permainan bunyi
pada harmoni, diperlukan mantra. Dilihat dari rimanya, tidak banyak rima yang terdapat pada larik-larik awal atau akhir seperti yang biasanya terdapat pada sajak tradisional, tetapi persamaan bunyi vokal selarik atau asonansi banyak ditemukan. Memang, mantra pada prinsipnya adalah permainan bunyi
Sajak yang terdiri dari duapuluh delapan kata inihanya mengandung dua verba yang salah satunya merupakan bentuk pasif (dicabik), sedangkan yang lain merupakan bentuk nomina dan adjektiva. Hal ini memberi kesan statis seperti juga dukun yang sedang mengucapkan mantra di depan kemenyannya. Meskipun demikian tak adanya tanda baca selain dua tanda seru, serta tiadanya huruf besar, menimbulkan kesan adanya suatu gerakan yang tak berhenti, bagaikan asap yang mengepul tinggi.
Sementara itu, kedua tanda seru menunjukkan fungsi ekspresif yang kuat. Selanjutnya, sebagaimana telah dikatakan di atas, judul sajak ini adalah “Mantra”. Apabila kita perhatikan, semua kosakatayang digunakan sangat mendukung hal ini. “lima percik mawar” adalah air mawar yang biasa digunakan oleh sang dukun dalam berdoa, demikian pula “tujuh sayap merpati”. Pada umumnya yang digunakan sebagai korban adalah ayam hitam namun di sini digunakan jenis unggas lain, yaitu merpati. Ini menunjukkan bahwa Sutardji ingin menunjukkan bahwa tidak selalu hitam itu simbol keburukan. Selanjutnya frase “sesayat langit perih” menunjukkan adanya suatu kesakitan atau kesedihan yang membutuhkan mantra.
Sajak ini juga menarik dari aspek pragmatisnya, karena apabila bait pertama dikemukakan oleh pencerita, untuk menampilkan keadaan sang dukun yang sedang berdoa, maka bait kedua hanya berisi komunikasi langsung antara dukun dengan penguasa alam semesta. Itulah sebabnya bagian ini sangat ekspresif. Seruan “Puah” dilontarkan sang dukun pada akhir doanya, biasanya disertai ludah yang dianggap mempunyai kekuatan gaib, kekuatan penyembuh.. Maka “kau” yang ditampilkan dengan huruf “k” kecil, berubah menjadi “Kau” dengan huruf “besar”, artinya si dukun telah berhasil menyatu dengan penguasa alam semesta yang disebutnya dan dianggapnya sebagai “Kasihku”.
4.
Jadi
Tidak setiap
derita
jadi luka
tidak setiap
sepi
jadi duri
tidak setiap
tanda
jadi makna
tidak setiap
tanya
jadi ragu
tidak setiap
jawab
jadi sebab
tidak setiap
seru
jadi mau
tidak setiap
tangan
jadi pegang
tidak setiap
kabar
jadi tahu
tidak setiap
luka
jadi kaca
memandang Kau
pada wajahku!
(hal. 14)
Pada sajak “Jadi” di atas, dapat kita
lihat bahwa sutardji menggunakan bahasa sehari-hari dalam sajaknya, seperti
kata derita, luka, duri, sepi yang biasa digunakan untuk
mengungkapkan kesedihan atau penderitaan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
membuat bahasa sehari-hari yang hidup, Sutardji mempergunakan kata-kata yang
tidak baku, seperti kasi; kasikan ikan, kasikan remaja. Untuk memberi
suasana mantra, ia mengubah bunyi a menjadi e pada
kata-kata puake, muare, buaye, siape.
Luka, duri, makna, ragu, sebab, mau,
pegang, tahu, dan kaca adalah metafora implisit dalam sajak itu,
yang merupakan ucapan yang sampai kepada hakikatnya. Dalam kehidupan ini (di
negeri ini), kenyataannya tidak setiap penderitaan menyababkan luka di hati,
atau tidak menyebabkan hati bersedih, tidak setiap kesepian itu menjadi duri,
menjadi siksaan dalam hati, tidak setiap tanda (misalnya gempa, atau bencana
alam) menjadi makna (tidakmenimbullkan arti) hingga mestinya berbuat sesuatu
untuk menanggapinya, tidak semua tanya menjadikan orang ragu-raguakan
kesalahannya, maka ia akan terus membuat kesalahan dan tidak semua jawaban
menyebabkan sebab untuk melakukan tindakan yang seharusnya.
5.
Tragedi Winka
dan Sihka
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
Kata inti
dari syair tragedi sihka winka adalah kata kasih dan kata kawin. Tema syair ini
adalah perjalanan hidup yang sengsara dengan banyak marabahaya. Ekspresi yang
terkandung di dalamnya adalah makna nonsense dan tipografi yang penuh makna.
Kata kawin, kasih, winka, sihka, ka – win, dan ka – sih adalah tanda-tanda bermakna. Logika tanda itu sebagai berikut: bila kata itu utuh, sempurna seperti aslinya, maka arti dan maknanya sempurna. Bila kata-kata dibalik, maka maknanya-pun terbalik, berlawanan dengan arti kata aslinya. Dalam kata “kawin” terkandung konotasi kebahagiaan, sedangkan “winka” itu mengandung makna kesengsaraan. “Kawin” adalah persatuan, sebaliknya “winka” adalah perceraian. “Kasih” itu berarti cinta, sedangkan “sihka” kebencian. Bila “kawin” dan “kasih” menjadi “winka” dan “sihka” itu adalah tragedi kehidupan. Targedi mulai terjadi ketika “kawin” dan “kasih” tidak bisa dipertahankan dan terpecah menjadi sih – sih, kata tak bermakna, yang menunjukkan hidup menjadi sia-sia belaka.
Kata kawin, kasih, winka, sihka, ka – win, dan ka – sih adalah tanda-tanda bermakna. Logika tanda itu sebagai berikut: bila kata itu utuh, sempurna seperti aslinya, maka arti dan maknanya sempurna. Bila kata-kata dibalik, maka maknanya-pun terbalik, berlawanan dengan arti kata aslinya. Dalam kata “kawin” terkandung konotasi kebahagiaan, sedangkan “winka” itu mengandung makna kesengsaraan. “Kawin” adalah persatuan, sebaliknya “winka” adalah perceraian. “Kasih” itu berarti cinta, sedangkan “sihka” kebencian. Bila “kawin” dan “kasih” menjadi “winka” dan “sihka” itu adalah tragedi kehidupan. Targedi mulai terjadi ketika “kawin” dan “kasih” tidak bisa dipertahankan dan terpecah menjadi sih – sih, kata tak bermakna, yang menunjukkan hidup menjadi sia-sia belaka.
Sedangkan penulisan puisi tragedi winka sihka yang disusun secara zig zag ini membuat bentuk puisi ini berbeda dengan yang lain. Justru bentuk yang berbeda dengan yang lain ini yang membawa nilai estetik tersendiri, karena penyair mempunyai makna tersendiri dengan susunan bentuk yang ia ciptakan, yakni sebuah tanda yang merupakan suatu lambang keliku-likuan suatu perjalanan yang penuh dengan bahaya. Dengan kata lain, bentuk larik dan kata dalam puisi tersebut membentuk makna yang tersembunyi. Hanya penyairlah yang tahu maksudnya. Sebagai pembaca, kita dapat memaknai kata-kata yang tertulis dalam larik-larik puisi itu.
Sajak itu hanya terdiri dari dua kata kawin
dan kasih, yang dipotong-potong menjadi suku-suku kata, juga dibalik
menjadi kawin dan sihka. Pada awalnya kata kawin masih
penuh. Kawin memberi konotasi begitu indahnya perkawinan. Orang yang
hendak kawin mesti berangan-angan yang indah. Bahwa sesudah kawin akan hidup
berbahagia dengan kasih sayang anak-istri-suami. Akan tetapi, melalui
perjalanan waktu kata kawin terpotong menjadi ka dan win, artinya
tidak penuh lagi. Angan-angan perkawinan semula terpotong, ternyata kenyataan
setelah kawin berubah. Dalam perkawinan harus memberi nafkah, ada
kewajiban-kewajiban, ada anak yang harus dibiayai. Bahkan sering terjadi
pertengkaran suami-istri yang harus membiayai makan, pakaian, dan sekolah
anak-anaknya. Ternyata perkawinan itu tidak seperti diharapkan yang penuh
dengan kebahagiaan, segala berjalan lancar, tetapi penuh kesukaran. Terbalik
artinya, kawin menjadi winka. Bahkan mungkin istri atau suami
menyeleweng, terjadilah perceraian. Nah, terjalin tragedi winka & sihka,
pembalikan arti dari angan-angan kawin dan kasih, yang pada
mulanya diangankan akan penuh kebahagiaan.
Teknik persajakan seperti di atas
dengan memotong-motong kata dan membalikan suku kata seperti itu belum pernah
terjadi dalam perpuisian Indonesia modern.
6.
Sampai
hafiz bertemu
Tuhan semalam
kini dimana Hafiz
Rumi menari
bersama Dia
kini dimana Rumi
Hamzah jumpa
dia di rumah
kini dimana Fansuri
Tardji
menggapai Dia di puncak
tapi kini di mana Tardji
kami tak
dimanamana
kami mengata
meninggi
kami dekat
kalau kalian
mabuk Tuhan
kami mabuk sama kalian
kalau kalian
rindu Dia
rindu kalian bersama kami
kalau kembali
ke rumah Diri
kalian kembali ke rumah kami
sampai kalian
ke puncak nurani
kalian pun sampai sebatas kami
1986
(hal. 12)
Pada sajak “Sampai” di atas, Sutardji tidak menggunakan
tanda baca berupa tanda tanya pada kalimat tanya seperti pada kutipan kini
dimana Hafiz; kini dimana Rumi; kini dimana Fansuri; tapi kini di mana Tardji. Dapat
kita lihat bahwa kutipan tersebut adalah kalimat tanya yang seharusnya dibubuhi
kata tanya di akhir kalimat. Namun hal itu tidak dilakukan Sutardji karena ia
sangat hemat mempergunakan tanda baca, dan bila tidak santag perlu tidak
dipergunakan. Pada kutiapn tersebut, tidak perlu dibubuhi tanda tanya, pembaca
sudah mengetahui bahwa kalimat yang diungkapkan Sutardji adalah kalimat tanya.
Di sinilah salah satu letak kepadatan puisi Sutardji. Selain kutipan di atas,
dapat kita temukan penyimpangan lagi pada kutipan kami tak dimanamana. Pada
kutipan ini, Sutardji tidak menggunakan kata penghubung pada kata dimanamana.
Hal ini terjadi karena Sutardji memberikan efek stream of consiousness pada
sajaknya yang beraliran mantra.
7.
Orang Yang Tuhan
orang yang tuhan
gelasnya oleng karena ombak tuak
yang bilang
minum!
kau karam aku tidak!
orang yang
tuhan
orang yang
tuhan
nenggelamkan ranjang dengan kasihnya
yang payau
dalam geliat syahwat
yang bilang ahh!
aku sudah
orang yang
tuhan
sungsang dalam sampainya
yang bilang
wau!
gapaikan dedak!
orang yang
tuhan
nyelinap dalam lukamu
minum arak lukamu
ketawa dari lukamu
berjingkrak dari lukamu
baring dalam lukamu
pulas dalam lukamu
bangun dari lukamu
pergi dari lukamu
orang yang
tuhan
bertualang selalu
datang dan
pergi
dari luka ke lukamu
dia masuk
minumminum nyanyinyanyi ketawa
senyumsenyum tidur
bangun
dan
jingkrakjingkrak dari luka ke lukamu
assalammualaikum!
dia membuka pintu
dan menyorongkan salamnya padamu
senyumsenyum mengajakmu masuk minum-minum
nyanyinyanyi ketawa senyumsenyum
tidur
bangun
jingkrakjingkrak
dan pergi
dari luka ke lukamu
(hal.1)
Pada sajak “Orang Yang Tuhan” tersebut, dapat kita lihat
beberapa kata digabungkan menjadi satu oleh Sutardji tanpa tanda penghubung,
padahal kata-kata tersebut merupakan kata ulang. Seperti pada kutipan minumminum
nyanyinyanyi ketawa. Kata minumminum dan nyanyinyanyi memang
seharusnya dihubungkan oleh tanda penghubung, namun begitulah Sutardji. Dia
memang tidak mengikat makna pada kata-kata yang digunakannya, dia menggunakan
kata-kata sebebas-bebasnya dan bermain dengan kata itu beserta bunyi. Begitu
juga pada kutipan jingkrakjingkrak dari luka ke lukamu. Kata jingkrakjingkrak
pun tidak dihubungkan tanda penghubung karena dianggap tidak perlu oleh
Sutardji. Di sini pun terlihat, betapa hematnya Sutardji dalam menggunakan
tanda baca dalam sajaknya demi terciptanya kepadatan puisi.
8.
Nuh
di tengah luka
paya-paya
lintah hitam
makan bulan
taklagi matari
jam ngucurkan
detak nanah
tak ada yang
luput
bahkan mimpi
tak
tanah tanah
tanah
beri aku puncak
untuk mulai lagi
berpijak!
1977
(hal. 9)
Pada sajak “Nuh” di atas, Sutardji
hanya menggunakan satu tanda baca di akhir bait, yaitu tanda seru. Penyimpangan
yang ia lakukan ialah penghilangan imbuhan pada kata ngucurkan. Kata ngucurkan
ini disandingkannya dengan kata jam. Kalau dipikir dengan logika,
sangat tidak masuk akal jika jam disandingkan dengan kata ngucurkan.
Karena yang kita ketahui bahwa kata ngucurkan biasanya disandingkan
dengan kata yang mengandung makna benda cair, seperti air, keringat, dan
sebagainya. Misalnya, tubuhnya mengucurkan keringat. Namun, Sutardi
menghilangkan imbuhan me- pada kata tersebut, sehingga metafora yang
digunakannya pun sulit diterima logika. Penyimpangan yang sama pun dilakukan
Sutardji pada sajaknya “Orang Yang Tuhan” yaitu pada kutipan nenggelamkan
ranjang dengan kasihnya. Pada kata nenggelamkan imbuhan me-
ditiadakan Sutardji untuk mendapatkan kepadatan makna puisi.
9.
O
dukaku dukakau dukarisau
dukakalian dukangiau
resahku resahkau
resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru
ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu
mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau
siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia
waswasku waswaskau
waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau
duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu
okalian obolong orisau oKau O....
Dalam puisi O ini Sutardji memilih diksi yang yang tepat.
Seperti apa yang dia katakan bahwa kata itu adalah pengertian itu sendiri tidak
harus bermakna lain. Sehingga dalam puisinya ini hanya ada makna denotasi. Dalam
puisi ini kata-kata yang digunakan Sutardji adalah kata-kata yang bisa
digunakan dalam bahasa sehari-hari. Tetapi ada kata yang berasal dari bahasa
daerah antara yaitu bahasa Jawa, terlihat pada kata ”bolong” yang berarti
berlubang. Disisi lain hanya sedikit
kata yang menimbulkan efek efoni (tehnik memindahkan bunyi) antara lain
duhairindu, duhaingilu, duhaisangsai, orindu, obolong, dan orisau. Sehingga
puisi tersebut tidak terlihat kemerduannya.
Walaupun banyak terdapat asonansi seperti :
Dukaku dukakau dukarisau
Resahku resahkau resahrisau resahbalau
Raguku ragukau raguguru ragutahu
Mauku maukau mautahu mausampai.......maugapai
Siasiaku siasiakau.....siasiabalau siasiarisau
Waswasku waswaskau
Duhaiku duhaikau duhairindu duhai ngilu
Asonansi yang ada tersebut tetap saja menimbulkan efek kakafoni. Karena kesan bunyi indahnya seperti bunyi dalam mantra jadi terkesan biasa dan tidak merdu. Begitu juga pada iramanya paduan bunyi itu hanya membuat irama yang datar-datar saja sehingga tak ada luapan-luapan emosi yang bisa mempengaruhi irama.
Bahasa kiasan yang ditampilkan adalah repetisi, yakni pengulangan kata guna menekankan arti pada kata itu. Seperti tekanan pada kata ”duka” yang diulang sampai lima kali terlihat kalau sang penyair sedang mengalami duka entah duka pada dirinya, pada kau atau mungkin kekasihnya, duka pada temannya ataupun duka seekor kucing.
Begitu juga penekanan pada kata resah, ragu, mau, sia-sia,
waswas, duhai, dan o adalah sebuah tekanan yang memberi makna lebih pada duka,
keresahan yang akhirnya menimbulkan ragu dan juga keingintahuan walaupun itu
hanya sia-sia dan membuat waswas. Pengulangan kata itu merupakan penekanan juga
pada artinya.
Dalam puisi O ini terdapat beberapa pencitraan antara lain, gerak, pedengaran, perasa dan penglihatan. Gerak terlihat dari kata”maugapai” karena seakan kita bergerak untuk menggapai harapan itu. Pendengaran terlihat dari kata ”dukangiau” karena kata ngiau disitu adalah suara hewan yakni kucing sebagai suatu bahan perbandingan. Indera perasa juga terasa dilibatkan dalam kata ”duhaingilu” sehingga pembaca seakan ikut merasa ngilu dengan membaca puisi tersebut. Selain itu juga ada pencitraan penglihatan pada kata ”okosong” dan ”obolong” karena kosong dan bolong itu hanya bisa diketahui dangan melihat suasana.Semuanya merupakan pencintran yang bertujuan membawa pembaca dengan segenap inderanya sehingga bisa merasakan sakit dan kehampaan yang ada dalam puisi tersebut. Dengan melibatkan indera bisa dirasakan dengan seluruh imajinasinya apa yang ada dalam puisi tersebut.
Kata-kata yang seakan berupa mantra itu merupakan ekspresi dari doa. Penyair merasa duka, resah dan ragu yang mendalam. Perasaan inilah yang membuat penyair berkeinginan untuk mencapainya walaupun semuanya harus sia-sia. Semuanya hanya tinggal perasaan waswas dan kehampaan. Kehampaan yang dirasakan itu dilambangkan dengan kata bolong dan kosaong yang seakan-akan seperti huruf O. Jadi sebenarnya huruf O adalah penggambaran dari perasaan hampa dan kosong sang penyair. Selain itu kata-katanya yang seperti mantra seakan-akan menyiratkan bahwa puisi itu adalah doa. Hingga puisi itu merupakan hakikat dari Tuhan dan dosa. Tentang bagaimana manusia merasa berdosa dengan segala keresahan dan kesedihan sehingga semuanya hanya bisa dikembalikan pada Tuhan.
Sajak ini menggambarkan suasana optimis pada penyair.
Suasana optimis ini berubah menjadi absurd, karena walaupun sudak merasa tidak
mungkin tetapi masih ada usaha untuk mengapai semua itu. Dengan keyakinan
semuanya akan bisa tercapai walaupun itu juga tak mungkin. Sajak ini
kata-katanya dikuai oleh emosi dan rasio yang tak menentu sehingga menjadi
sebuah misteri. Karena semuanya seakan hanya sebuah misteri yang seakan-akan
semuanya itu sulit untuk dipahami dan terlihat tidak komunikatif. Kandungan
yang tak kalah kayanya dari puisi O dapat dilihat dalam puisi mantera.
10. Q
!
!
! ! !
! ! ! !
! !
!
! a
lif ! !
l
l
a
l
a m
!!
Mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
1111111111111
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
(hal. 16)
Pemutusan kata itu memberi sugesti arti
bahwa tidak ada makna dari huruf tersebut. Tidak ada yang bisa memaknai huruf
alif lam mim kecuali Allah SWT, semuanya tinggal sia-sia saja jika ditafsirkan.
Tetap saja huruf itu hanyalah dimaknai alif lam mim. Begitu juga dengan sajak
“Q” karya Sutardji tersebut. Sajak tersebut berisi huruf Alim Lam Mim yang
kata-kata tersebut diputus-putuskannya, dan sajak tersebut juga berisi tanda
seru yang memperindah tipografi puisi tersebut. Contoh lain yaitu sajak
“Tragedi Winka & Sihka” merupakan sajak yang paling banyak mendapatkan
tanggapan, yang kebanyakan berpendapat bahwa sajak ini hanya “bermain-main”
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
1.
Istilah
estetika berasal dari bahasa latin “aestheticus” atau bahasa Yunani
“aestheticos” yang bersumber dari kata “aithe” yang berarti merasa. “Estetika
dapat didefinisikan sebagai susunan bagian dari sesuatu yang mengandung pola.
2.
Estetika adalah ilmu tentang keindahan.
Estetika merupakan cabang filsafat yang membahas keindahan yang melekat pada
karya seni. Istilah estetis, biasanya merujuk pada indah, tentang keindahan,
atau memiliki nilai keindahan.
3. Fungsi
Estetik dalam sebuah karya sastra khususnya puisi, fungsi estetiknya dominan
dan di dalamnya ada unsur-unsur estetiknya. Unsur-unsur keindahan ini
merupakan unsur-unsur kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata),
irama dan gaya bahasanya.
4. Sebuah
puisi memiliki keindahan apabila puisi itu memiliki susunan atau komposisi yang
memenuhi syarat sebagai berikut :
a.
Keutuhan (unity)yang membentuk
unsur-unsur sistem puisi
b.
Keselarasan (harmony) unsur-unsur yang
mendukung puisi,
c.
Keseimbangan (balance) antara bentuk,
isi, dan ekspresi, dan
d.
Adanya fokus (right emphasis).
5. Unsur estetika dengan kandungan dalam
puisi ada beberapa poin yang dapat dilihat:
a.
Kesatuan
b.
Kejelasan
c.
Kecermerlangan
d.
Perimbangan
da
e.
Warna
6. Macam-macam puisi sutardzi calzoum
bachri yag terdapat nilai-nilai estetika yaitu ?
a.
s e p i s a u p i
b.
KAKEKKAKEK & BOCAH BOCAH
c.
Mantera
d.
Jadi
e.
Tragedy
Sinka dan Winka
f.
Sampai
g.
Orang
Yang Tuhan
h.
Nuh
i.
O
j.
Q
3.2 Saran
Tentang tugas mata kuliah Sastra Kontemporer yang membahas tentang
Estetika Puisi-puisi Sutardzi Calzoum Bachri. Dalam pembuatan tugas ini
penulis telah mencoba memberikan hasil penulisan dengan sebaik mugkin. Namun,
tentu saja tugas ini masih banyak terdapat kekurangan yang tak luput dari
perhatian penulis, baik dari struktur penulisan maupun kelengkapan informasi
yang terdapat di dalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan masukan, kritik dan
saran yang dapat membangun guna untuk memenuhi kesempurnaan tugas ini. Penulis
juga mengharapkan semoga tulisan ini dapat menjadi acuan bagi tugas-tugas
berikutnya dan menjadi salah satu referensi yang bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA