Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Sabtu, 04 Mei 2013

TUGAS SASTRA KONTEMPORER



BAB I
PENDAHULUAN
1.1             Latar Belakang dan Masalah
1.1.    1    Latar Belakang
Puisi merupakan bentuk karya sastra yang tergolong paling tua. Namun, sampai sekarang tidak ada definisi yang mutlak mengenai puisi. Sejak kelahirannya, puisi memang sudah menunjukkan ciri khas seperti yang kita kenal sekarang. Meskipun puisi telah mengalami perkembangan dan perubahan tahun demi tahun, bentuk karya sastra ini memang dikonsep oleh pencipta atau penyairnya sebagai puisi dan bukan bentuk prosa yang kemudian dipuisikan. Namun secara garis besar puisi adalah karya sastra yang memiliki unsur-unsur keindahan (estetis).
Dalam sejarah perkembangan puisi, dikenal jenis puisi kontemporer. Sastra kontemporer adalah karya sastra yang muncul sekitar tahun 70-an, bersifat eksperimental, memiliki sifat-sifat yang “menyimpang” dari konvensi-konvensi sastra yang berlaku biasa atau umum. Sastra kontemporer muncul sebagai reaksi terhadap sastra konvensional yang sudah beku dan tidak kreatif lagi. Hal inilah yang membut pusi kontemporer menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Karya sastra adalah fenomena yang berbunga-bunga sehingga peneliti diharapkan dapat meneliti dan mengungkap keindahan didalamnya. Keindahan adalah ciptaan pengarang dengan seperangkat bahasa. Melalui eksplorasi bahasa yang khas, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yang optimal. Untuk mengkaji keindahan karya sastra pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan estetika.
1.1.  2    Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan perumusan makalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan estetika ?
2.      Bagaimana cara menyajikan unsur-unsur keindahan bentuk dan makna dalam  karya sastra
3.      Bagaimana menyajikan nilai estetika  dalam puisi-puisi Sutardzi  Calzoum Bachri ?

1.2   Tujuan Penulisan
        Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1.      Mendeskripsikan apa yang dimaksud dengan estetika.
2.      Menyajikan unsur-unsur keindahan bentuk dan makna dalam karya sastra.
3.      Menyajikan nilai estetika  dalam puisi-puisi Sutardzi  Calzoum Bachri.

1.3   Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan penulisan di atas, manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah adalah :
1.      Secara teoritis, manfaat penelitian ini adalah dapat digunakan untuk menambah wawasan pengetahuan, mengetahui, dan memperluas tentang apa yang dimaksud dengan estetika, bagaimana cara menyajikan unsur-unsur keindahan bentuk dan makna dalam  karya sastra dan bagaimana menyajikan konsep keindahan (estetika)  dalam puisi-puisi Sutardzi  Calzoum Bachri.
2.      Secara praktis, manfaat tulisan dapat menjadi sebuah referensi bagi penulisan-penulisan tugas sastra kontemporer yang akan digunakan untuk kedepannya.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1             Pengertian Estetika dan Pendekatan Estetika
2.1.1 Pengertian Estetika
Istilah estetika berasal dari bahasa latin “aestheticus” atau bahasa Yunani “aestheticos” yang bersumber dari kata “aithe” yang berarti merasa. “Estetika dapat didefinisikan sebagai susunan bagian dari sesuatu yang mengandung pola. Pola mana mempersatukan bagian-bagian tersebut yang mengandung keselarasan dari unsur-unsurnya, sehingga menimbulkan keindahan.” (Effendy, 1993)

Estetika adalah ilmu tentang keindahan. Estetika merupakan cabang filsafat yang membahas keindahan yang melekat pada karya seni. Istilah estetis, biasanya merujuk pada indah, tentang keindahan, atau memiliki nilai keindahan. NIai estetis sebuah karya seni, dalam ha lini puisi, mampu memberikan hiburan, kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan batin ketika puisi itu dibaca, didengarkan, atau diresapi. Ada keindahan yang terkait dengan bahasa dan ada keindahan terkait dengan isi, makna, amanat, atau struktur mentalnya. Puisi mengandung keindahan fisik terkait dengan bahasa dan sekaligus keindahan struktur batinnya. Kandungan makna di dalam puisi, misalnya, banyak memberi manfaat bagi kehidupan, sebab makna itu terkait dengan nasihat, petuah, ajaran tentang moral, budi pekerti mulia, nilai kebijakan, keutamaan, dan keluhuran yang dapat menuntun ke arah jalan kebenaran.

                  Fungsi Estetik dalam sebuah karya sastra khususnya puisi, fungsi estetiknya dominan dan di dalamnya ada unsur-unsur estetiknya.  Unsur-unsur keindahan ini merupakan unsur-unsur kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama dan gaya bahasanya. Gaya bahasa meliputi semua penggunaan bahasa secara khusus untuk mendpatkan efek tertentu, yaitu efek estetikanya atau aspek kepuitisannya.  Jenis-jenis gaya bahasa itu meliputi semua aspek bahasa, yaitu bunyi, kata, kalimat dan wacana yang dipergunakan secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu itu (Pradopo. 1997: 315).
                 
                  Aktivitas apresiasi puisi terkait dengan keindahan dan kualitasnya. Setiap aktivitas apresiasi puisi tentu berusaha menikmati keindahan serta menukar mutu yang terkandung di dalam puisi. Hubungan antara keindahan dan kualitas puisi dapat dibandingkan dengan rangkaian permata yang disamping mempunyai keindahan bentuk juga memiliki kualitas. Sebuah puisi memiliki keindahan apabila puisi itu memiliki susunan atau komposisi yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1.      Keutuhan (unity)yang membentuk unsur-unsur sistem puisi
2.      Keselarasan (harmony) unsur-unsur yang mendukung puisi,
3.      Keseimbangan (balance) antara bentuk, isi, dan ekspresi, dan
4.      Adanya fokus (right emphasis).

Sebuah puisi dinilai memiliki keindahan apabila keempat syarat itu terpenuhi. Semakin terpenuhi keempat syarat itu, maka semakin estetislah sebuah puisi. Terkait empat syarat keindahan di atas dapat diajukan 10 konsep puisi yang berkualitas yaitu :
1.      Puisi dapat dikatakan berkualitas apabila merupakan usaha merekam isi jiwa penyairnya.
2.      Puisi yang berkualitas adalah puisi yang komunikatif.
3.      Puisi yang berkualitas menunjukkan adanya keteraturan
4.      Puisi yang berkualitas mampu menunjukkan adanya integrasi semua unsur, aspek,dan komponen pembentuk puisi.
5.      Puisi berkualitas menunjukkan adanya penemuan.
6.      Puisi yang berkualitas menunjukkan ekspresi penyairnya.
7.      Puisi yang berkualitas selalu pekat,kental,kenyal, lentur,luwes,dan dinamis.
8.      Puisi yang berkualitas selalu berisi penafsiran kehidupan
9.      Puisi yang berkualitas mampu menunjukkan adanya pembaruan, baik dalam tataran ide,kemasan, bentuk,bahasa, dan ekspresinya.
10.  puisi yang berkualitas mampu memberikan penghiburan spiritual, batiniah, rasa senang, puas, mempesona,dan mungkin membius pembacanya.


2.1.   2    Unsur-unsur Keindahan Bentuk dan Makna dalam Karya Sastra
Secara umum, aspek-aspek keindahan dalam sastra lebih banyak ditentukan oleh gaya bahasa, meskipun begitu, aspek keindahan yang lain juga tetap memberikan peranan penting dalam membentuk kesatuan unsur estetika dalam sastra, seperti susunan bait dalam puisi dan rima yang terkandung di dalamnya, dalam puisi lebih khusus menekankan unsur estetika yang dibentuk oleh gaya bahasa, karena bahasa merupakan media utama karya sastra dalam hal ini puisi.
Bahasa secara khusus telah memberikan peranan penting dalam eksistensi karya sastra karena bahasa merupakan sistem simbol yang dapat diterjemahkan meski dengan pemahaman yang berbeda-beda. kemudian dengan kebebasan pemahaman tersebut maka muncullah licensia poetica, yakni kebebasan seorang penyair untuk melanggar aturan formal dalam tata bahasa. Jika diuraikan secara relevan antara unsur estetika dengan kandungan dalam puisi maka setidaknya ada beberapa poin yang dapat dilihat:
1.       Kesatuan
2.      Kejelasan
4.      Perimbangan
5.      Warna

2.2   Nilai Estetika dalam Puisi-Puisi Sutardzi  Calzoum Bachri

1.       s e p i s a u p i

s e p i s a u                l u k a
s e p i s a u      d u r i
s e p i k u l                d o s a
s e p u k a u     s e p i
s e p i s a u                d u k a
s e r i s a u      d i r i
s e p i s a u                s e p i
s e p i s a u
n y a n y i

s e p i s a u p a
s e p i s a u p i
s e p i s a p a n y a
s e p i k a u  s e p i
s e p i s a u p a
s e p i s a u p i
s e p i k u l   s i r i
k e r a n j a n g
d u r i

s e p i s a u p a
s e p i s a u p i
s e p i s a u p a
s e p i s a u p i
s e p i s a u p a
s e p i s a u p i
s a m p a i
p i s a u N y a
k e d a l a m
n y a n y i
Nilai keindahan/estetis pada puisi tersebut ditampilkan dengan permainan kata yang memakai  vokal /i/, /u/, dan /a/ sehingga menimbulkan rasa gembira, riang, ringan dan tinggi. Dengan konsonan /s/ dan /p/ menimbulkan suasana yang kacau dan tidak teratur pada puisi tersebut. Perwujudan nilai keindahan juga muncul dari pengulangan-pengulangan kata sepisaupa dan sepisaupi. Selain itu pemunculan nilai keindahan juga dilakukan dengan pengulangan afiks se- dan adanya penekanan pada sepisaupa dan sepisaupi.
Dari segi unsur bentuk, keindahan puisi tersebut terlihat pada perualangan bunyi yang ditimbulkan dari rima.Rima puisi ini digarap sangat mengesankan oleh Sutardji, dengan menggunakan pola rima a a, yaitu di setiap akhir larik puisi ini diakhiri dengan bunyi i. Sehingga menimbulkan suasana bunyi yang merdu dan indah.
Permainan kata yang dilakukan Sutardji banyak kita dapati dalam puisi ini. Yang paling menonjol adalah pada kata sepisaupi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata ini merupakan hasil dari penggabunngan beberapa kata. Kata tersebut yaitu /sepi/, /pisau/, /api/. Jika kita perhatikan setiap kata tersebut mengandung vokal i.  
Selain itu puisi ini banyak menggunakan bunyi konsonan s dan p. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi” menimbulkan efek magis dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra. Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan atau keindahan bunyi. Terdapat pada kata,

Sepisaupa
Sepisaupi
Sepisapanya

Pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Terdapat pada kata,
sepisaupa
sepisapanya
nyanyi

Unsur Nada dan Suasana puisi yang terlukiskan pada puisi tersebut adalah suasana magis. Efek magis ditimbulkan Sutardji melalui pengulangan kata serta pengobrak-abrikan kata dalam puisi sepisaupi ini. Kata sepisaupi jika didengarkan seperti mantra. Hal itu dikarenakan penggabungan kata-kata sepi dan pisau jika dibaca tanpa putus kita akan dapat menangkap makna dari sepi dan pisau itu. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi” menimbulkan efek magis, dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra.
Efek magis yang murni pada puisi tersebut juga dapat kita lihat dari pengulangan-pengulangan (repetisi) seperti pada mantra. Sepisau, sepisaupa, sepisaupi, begitu banyak diulang-ulang dalam puisi ini. Bila diperhatikan lebih lanjut, efek yang diperoleh dari perulangan kata-kata yang tidak jelas artinya ini seakan-akan menunjukkan sesuatu yang gaib. Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran). Hal tersebut juga dapat dilihat dari bait kedua yang isinya tak jauh beda, yaitu menceritakan tentang sebuah penderitaan “sepikul diri keranjang duri”. Larik tersebut mengandung majas hiperbola, yang digunakan untuk 
memperkuat makna penderitaan yang luar biasa.
2.      KAKEKKAKEK & BOCAH BOCAH
            kakekkakek
              tidur di pantai
        dan bocahbocah main
              neylinap di ketiak mereka
              masuk di kelengkang mereka
                        menguak mimpi mereka
                        dalam pasir
                                  dan tertawa terkekehkekeh
dan kakekkakek
              bangun
                        menemukan diri
                                  tertawa
                               terkekehkekeh
angin datang
              menyibak pasir
              dan kakekkakek
                        menemukan
                                tulangbelulang sendiri
                                           di dalam pasir
                                           lalu menangis
                                  dan tidur kembali
                                dan bocahbocah tertawa
                                                     terkekehkekehkehkehkeh
Puisi di atas memiliki susunan kata yang bebas, tidak selalu mengikuti kaidah kebahasaan. Tata wajah puisi pun tidak terikat pada model  konvensional. Tampak dengan jelas dengan penyusunan kata dan tata wajah seperti di atas, akan sangat berbeda apabila disusun secara biasa. Misalnya kakekkakek akan memberikan rasa yang berbeda bila disusun menjadi kakek-kakek. Penyusunan puisi tersebut mampu memberi kesan baru pada rasa dan visual pembaca.
3.     Mantera
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mangasapi duka

puah!
kau jadi Kau
Kasihku

Dilihat dari bentuk sajaknya, sajak ini terdiri dari dua bait yang tidak simetris. Bait pertama terdiri dari delapan larik dan yang ke dua terdiri dari tiga larik. Keadaan tak sebanding ini memberi kesan berat, adanya tekanan. Sesuai dengan judul, maka interpretasi yang timbul kemudian adalah adanya masalah, dan untuk mengembalikan pada keadaan semula,
pada harmoni, diperlukan mantra. Dilihat dari rimanya, tidak banyak rima yang terdapat pada larik-larik awal atau akhir seperti yang biasanya terdapat pada sajak tradisional, tetapi persamaan bunyi vokal selarik atau asonansi banyak ditemukan. Memang, mantra pada prinsipnya adalah permainan bunyi

Sajak yang terdiri dari duapuluh delapan kata inihanya mengandung dua verba yang salah satunya merupakan bentuk pasif (dicabik), sedangkan yang lain merupakan bentuk nomina dan adjektiva. Hal ini memberi kesan statis seperti juga dukun yang sedang mengucapkan mantra di depan kemenyannya. Meskipun demikian tak adanya tanda baca selain dua tanda seru, serta tiadanya huruf besar, menimbulkan kesan adanya suatu gerakan yang tak berhenti, bagaikan asap yang mengepul tinggi.

Sementara itu, kedua tanda seru menunjukkan fungsi ekspresif yang kuat. Selanjutnya, sebagaimana telah dikatakan di atas, judul sajak ini adalah “Mantra”. Apabila kita perhatikan, semua kosakatayang digunakan sangat mendukung hal ini. “lima percik mawar” adalah air mawar yang biasa digunakan oleh sang dukun dalam berdoa, demikian pula “tujuh sayap merpati”. Pada umumnya yang digunakan sebagai korban adalah ayam hitam namun di sini digunakan jenis unggas lain, yaitu merpati. Ini menunjukkan bahwa Sutardji ingin menunjukkan bahwa tidak selalu hitam itu simbol keburukan. Selanjutnya frase “sesayat langit perih” menunjukkan adanya suatu kesakitan atau kesedihan yang membutuhkan mantra.

Sajak ini juga menarik dari aspek pragmatisnya, karena apabila bait pertama dikemukakan oleh pencerita, untuk menampilkan keadaan sang dukun yang sedang berdoa, maka bait kedua hanya berisi komunikasi langsung antara dukun dengan penguasa alam semesta. Itulah sebabnya bagian ini sangat ekspresif. Seruan “Puah” dilontarkan sang dukun pada akhir doanya, biasanya disertai ludah yang dianggap mempunyai kekuatan gaib, kekuatan penyembuh.. Maka “kau” yang ditampilkan dengan huruf “k” kecil, berubah menjadi “Kau” dengan huruf “besar”, artinya si dukun telah berhasil menyatu dengan penguasa alam semesta yang disebutnya dan dianggapnya sebagai “Kasihku”.
                       
4.     Jadi

Tidak setiap derita
                                    jadi luka
tidak setiap sepi
                                    jadi duri
tidak setiap tanda
                                    jadi makna
tidak setiap tanya
                                    jadi ragu
tidak setiap jawab
                                    jadi sebab
tidak setiap seru
                                    jadi mau
tidak setiap tangan
                                    jadi pegang
tidak setiap kabar
                                    jadi tahu
tidak setiap luka
                                    jadi kaca
                                                memandang Kau
                                                                        pada wajahku!

                                                                                    (hal. 14)



Pada sajak “Jadi” di atas, dapat kita lihat bahwa sutardji menggunakan bahasa sehari-hari dalam sajaknya, seperti kata derita, luka, duri, sepi  yang biasa digunakan untuk mengungkapkan kesedihan atau penderitaan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk membuat bahasa sehari-hari yang hidup, Sutardji mempergunakan kata-kata yang tidak baku, seperti kasi; kasikan ikan, kasikan remaja. Untuk memberi suasana mantra, ia mengubah bunyi a menjadi e pada kata-kata  puake, muare, buaye, siape.

Luka, duri, makna, ragu, sebab, mau, pegang, tahu, dan kaca adalah metafora implisit dalam sajak itu, yang merupakan ucapan yang sampai kepada hakikatnya. Dalam kehidupan ini (di negeri ini), kenyataannya tidak setiap penderitaan menyababkan luka di hati, atau tidak menyebabkan hati bersedih, tidak setiap kesepian itu menjadi duri, menjadi siksaan dalam hati, tidak setiap tanda (misalnya gempa, atau bencana alam) menjadi makna (tidakmenimbullkan arti) hingga mestinya berbuat sesuatu untuk menanggapinya, tidak semua tanya menjadikan orang ragu-raguakan kesalahannya, maka ia akan terus membuat kesalahan dan tidak semua jawaban menyebabkan sebab untuk melakukan tindakan yang seharusnya.

5.     Tragedi Winka dan Sihka

kawin
          kawin
                     kawin
                             kawin
                                           kawin
                                                    ka
                                              win
                                              ka
                                     win
                                  ka
                           win
                    ka
              win
         ka
 winka
                    winka
                                 winka
                                        sihka
                                                sihka
                                                             sihka
                                                                      sih
                                                                  ka
                                                             sih
                                                        ka
                                                   sih
                                              ka
                                          sih
                                      ka
                                 sih
                             ka
                                 sih
                                      sih
                                           sih
                                                sih
                                                     sih
                                                          sih
                                                               ka
                                                                   Ku

Kata inti dari syair tragedi sihka winka adalah kata kasih dan kata kawin. Tema syair ini adalah perjalanan hidup yang sengsara dengan banyak marabahaya. Ekspresi yang terkandung di dalamnya adalah makna nonsense dan tipografi yang penuh makna.
Kata kawin, kasih, winka, sihka, ka – win, dan ka – sih adalah tanda-tanda bermakna. Logika tanda itu sebagai berikut: bila kata itu utuh, sempurna seperti aslinya, maka arti dan maknanya sempurna. Bila kata-kata dibalik, maka maknanya-pun terbalik, berlawanan dengan arti kata aslinya. Dalam kata “kawin” terkandung konotasi kebahagiaan, sedangkan “winka” itu mengandung makna kesengsaraan. “Kawin” adalah persatuan, sebaliknya “winka” adalah perceraian. “Kasih” itu berarti cinta, sedangkan “sihka” kebencian. Bila “kawin” dan “kasih” menjadi “winka” dan “sihka” itu adalah tragedi kehidupan. Targedi mulai terjadi ketika “kawin” dan “kasih” tidak bisa dipertahankan dan terpecah menjadi sih – sih, kata tak bermakna, yang menunjukkan hidup menjadi sia-sia belaka.

Sedangkan penulisan puisi tragedi winka sihka yang disusun secara zig zag ini membuat bentuk puisi ini berbeda dengan yang lain. Justru bentuk yang berbeda dengan yang lain ini yang membawa nilai estetik tersendiri, karena penyair mempunyai makna tersendiri dengan susunan bentuk yang ia ciptakan, yakni sebuah tanda yang merupakan suatu lambang keliku-likuan suatu perjalanan yang penuh dengan bahaya. Dengan kata lain, bentuk larik dan kata dalam puisi tersebut membentuk makna yang tersembunyi. Hanya penyairlah yang tahu maksudnya. Sebagai pembaca, kita dapat memaknai kata-kata yang tertulis dalam larik-larik puisi itu.

Sajak itu hanya terdiri dari dua kata kawin dan kasih, yang dipotong-potong menjadi suku-suku kata, juga dibalik menjadi kawin dan sihka. Pada awalnya kata kawin masih penuh. Kawin memberi konotasi begitu indahnya perkawinan. Orang yang hendak kawin mesti berangan-angan yang indah. Bahwa sesudah kawin akan hidup berbahagia dengan kasih sayang anak-istri-suami. Akan tetapi, melalui perjalanan waktu kata kawin terpotong menjadi ka dan win, artinya tidak penuh lagi. Angan-angan perkawinan semula terpotong, ternyata kenyataan setelah kawin berubah. Dalam perkawinan harus memberi nafkah, ada kewajiban-kewajiban, ada anak yang harus dibiayai. Bahkan sering terjadi pertengkaran suami-istri yang harus membiayai makan, pakaian, dan sekolah anak-anaknya. Ternyata perkawinan itu tidak seperti diharapkan yang penuh dengan kebahagiaan, segala berjalan lancar, tetapi penuh kesukaran. Terbalik artinya, kawin  menjadi winka. Bahkan mungkin istri atau suami menyeleweng, terjadilah perceraian. Nah, terjalin tragedi winka & sihka, pembalikan arti dari angan-angan kawin dan kasih, yang pada mulanya diangankan akan penuh kebahagiaan.
Teknik persajakan seperti di atas dengan memotong-motong kata dan membalikan suku kata seperti itu belum pernah terjadi dalam perpuisian Indonesia modern.

6.      Sampai

hafiz bertemu Tuhan semalam
                                                kini dimana Hafiz
Rumi menari bersama Dia
                                                kini dimana Rumi
Hamzah jumpa dia di rumah
                                                kini dimana Fansuri
Tardji menggapai Dia di puncak
                                                tapi kini di mana Tardji

kami tak dimanamana
kami mengata meninggi
kami dekat

kalau kalian mabuk Tuhan
                        kami mabuk sama kalian
kalau kalian rindu Dia
                        rindu kalian bersama kami
kalau kembali ke rumah Diri
                        kalian kembali ke rumah kami
sampai kalian ke puncak nurani
                        kalian pun sampai sebatas kami
                                                                        1986
                                                                        (hal. 12)


Pada sajak “Sampai” di atas, Sutardji tidak menggunakan tanda baca berupa tanda tanya pada kalimat tanya seperti pada kutipan kini dimana Hafiz; kini dimana Rumi; kini dimana Fansuri; tapi kini di mana Tardji. Dapat kita lihat bahwa kutipan tersebut adalah kalimat tanya yang seharusnya dibubuhi kata tanya di akhir kalimat. Namun hal itu tidak dilakukan Sutardji karena ia sangat hemat mempergunakan tanda baca, dan bila tidak santag perlu tidak dipergunakan. Pada kutiapn tersebut, tidak perlu dibubuhi tanda tanya, pembaca sudah mengetahui bahwa kalimat yang diungkapkan Sutardji adalah kalimat tanya. Di sinilah salah satu letak kepadatan puisi Sutardji. Selain kutipan di atas, dapat kita temukan penyimpangan lagi pada kutipan kami tak dimanamana. Pada kutipan ini, Sutardji tidak menggunakan kata penghubung pada kata dimanamana. Hal ini terjadi karena Sutardji memberikan efek stream of consiousness pada sajaknya yang beraliran mantra.

7.      Orang Yang Tuhan

orang yang tuhan
                        gelasnya oleng karena ombak tuak
yang bilang minum!
                        kau karam aku tidak!
orang yang tuhan
orang yang tuhan
                        nenggelamkan ranjang dengan kasihnya
yang payau dalam geliat syahwat
                        yang bilang ahh!
aku sudah
orang yang tuhan
                        sungsang dalam sampainya
yang bilang wau!
                        gapaikan dedak!
orang yang tuhan
            nyelinap dalam lukamu
minum arak lukamu
ketawa dari lukamu
berjingkrak dari lukamu
baring dalam lukamu
pulas dalam lukamu
bangun dari lukamu
pergi dari lukamu
orang yang tuhan
                        bertualang selalu
datang dan pergi
                        dari luka ke lukamu
dia masuk
            minumminum nyanyinyanyi ketawa
senyumsenyum tidur
                                                bangun
                                                            dan
                                           jingkrakjingkrak dari luka ke lukamu
assalammualaikum!
            dia membuka pintu
dan menyorongkan salamnya padamu
                                    senyumsenyum mengajakmu masuk minum-minum
                                           nyanyinyanyi ketawa senyumsenyum
                                                            tidur
                                                                        bangun
                                           jingkrakjingkrak
                                                                        dan pergi
                                                            dari luka ke lukamu
                                                                                    (hal.1)

Pada sajak “Orang Yang Tuhan” tersebut, dapat kita lihat beberapa kata digabungkan menjadi satu oleh Sutardji tanpa tanda penghubung, padahal kata-kata tersebut merupakan kata ulang. Seperti pada kutipan minumminum nyanyinyanyi ketawa. Kata minumminum dan nyanyinyanyi memang seharusnya dihubungkan oleh tanda penghubung, namun begitulah Sutardji. Dia memang tidak mengikat makna pada kata-kata yang digunakannya, dia menggunakan kata-kata sebebas-bebasnya dan bermain dengan kata itu beserta bunyi. Begitu juga pada kutipan jingkrakjingkrak dari luka ke lukamu. Kata jingkrakjingkrak pun tidak dihubungkan tanda penghubung karena dianggap tidak perlu oleh Sutardji. Di sini pun terlihat, betapa hematnya Sutardji dalam menggunakan tanda baca dalam sajaknya demi terciptanya kepadatan puisi.                                                  
8.      Nuh

di tengah luka paya-paya
lintah hitam makan bulan
taklagi matari
jam ngucurkan
detak nanah

tak ada yang luput
bahkan mimpi tak
tanah tanah tanah
beri aku puncak
untuk mulai lagi berpijak!
1977
(hal. 9)

Pada sajak “Nuh” di atas, Sutardji hanya menggunakan satu tanda baca di akhir bait, yaitu tanda seru. Penyimpangan yang ia lakukan ialah penghilangan imbuhan pada kata ngucurkan. Kata ngucurkan ini disandingkannya dengan kata jam. Kalau dipikir dengan logika, sangat tidak masuk akal jika jam disandingkan dengan kata ngucurkan. Karena yang kita ketahui bahwa kata ngucurkan biasanya disandingkan dengan kata yang mengandung makna benda cair, seperti air, keringat, dan sebagainya. Misalnya, tubuhnya mengucurkan keringat. Namun, Sutardi menghilangkan imbuhan me- pada kata tersebut, sehingga metafora yang digunakannya pun sulit diterima logika. Penyimpangan yang sama pun dilakukan Sutardji pada sajaknya “Orang Yang Tuhan” yaitu pada kutipan nenggelamkan ranjang dengan kasihnya. Pada kata nenggelamkan imbuhan me- ditiadakan Sutardji untuk mendapatkan kepadatan makna puisi.

9.      O

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O....

Dalam puisi O ini Sutardji memilih diksi yang yang tepat. Seperti apa yang dia katakan bahwa kata itu adalah pengertian itu sendiri tidak harus bermakna lain. Sehingga dalam puisinya ini hanya ada makna denotasi. Dalam puisi ini kata-kata yang digunakan Sutardji adalah kata-kata yang bisa digunakan dalam bahasa sehari-hari. Tetapi ada kata yang berasal dari bahasa daerah antara yaitu bahasa Jawa, terlihat pada kata ”bolong” yang berarti berlubang.  Disisi lain hanya sedikit kata yang menimbulkan efek efoni (tehnik memindahkan bunyi) antara lain duhairindu, duhaingilu, duhaisangsai, orindu, obolong, dan orisau. Sehingga puisi tersebut tidak terlihat kemerduannya.

Walaupun banyak terdapat asonansi seperti :
Dukaku dukakau dukarisau
Resahku resahkau resahrisau resahbalau
Raguku ragukau raguguru ragutahu
Mauku maukau mautahu mausampai.......maugapai
Siasiaku siasiakau.....siasiabalau siasiarisau
Waswasku waswaskau
Duhaiku duhaikau duhairindu duhai ngilu

Asonansi yang ada tersebut tetap saja menimbulkan efek kakafoni. Karena kesan bunyi indahnya seperti bunyi dalam mantra jadi terkesan biasa dan tidak merdu. Begitu juga pada iramanya paduan bunyi itu hanya membuat irama yang datar-datar saja sehingga tak ada luapan-luapan emosi yang bisa mempengaruhi irama.


Bahasa kiasan yang ditampilkan adalah repetisi, yakni pengulangan kata guna menekankan arti pada kata itu. Seperti tekanan pada kata ”duka” yang diulang sampai lima kali terlihat kalau sang penyair sedang mengalami duka entah duka pada dirinya, pada kau atau mungkin kekasihnya, duka pada temannya ataupun duka seekor kucing.
Begitu juga penekanan pada kata resah, ragu, mau, sia-sia, waswas, duhai, dan o adalah sebuah tekanan yang memberi makna lebih pada duka, keresahan yang akhirnya menimbulkan ragu dan juga keingintahuan walaupun itu hanya sia-sia dan membuat waswas. Pengulangan kata itu merupakan penekanan juga pada artinya.

Dalam puisi O ini terdapat beberapa pencitraan antara lain, gerak, pedengaran, perasa dan penglihatan. Gerak terlihat dari kata”maugapai” karena seakan kita bergerak untuk menggapai harapan itu. Pendengaran terlihat dari kata ”dukangiau” karena kata ngiau disitu adalah suara hewan yakni kucing sebagai suatu bahan perbandingan. Indera perasa juga terasa dilibatkan dalam kata ”duhaingilu” sehingga pembaca seakan ikut merasa ngilu dengan membaca puisi tersebut. Selain itu juga ada pencitraan penglihatan pada kata ”okosong” dan ”obolong” karena kosong dan bolong itu hanya bisa diketahui dangan melihat suasana.Semuanya merupakan pencintran yang bertujuan membawa pembaca dengan segenap inderanya sehingga bisa merasakan sakit dan kehampaan yang ada dalam puisi tersebut. Dengan melibatkan indera bisa dirasakan dengan seluruh imajinasinya apa yang ada dalam puisi tersebut.

Kata-kata yang seakan berupa mantra itu merupakan ekspresi dari doa. Penyair merasa duka, resah dan ragu yang mendalam. Perasaan inilah yang membuat penyair berkeinginan untuk mencapainya walaupun semuanya harus sia-sia. Semuanya hanya tinggal perasaan waswas dan kehampaan. Kehampaan yang dirasakan itu dilambangkan dengan kata bolong dan kosaong yang seakan-akan seperti huruf O. Jadi sebenarnya huruf O adalah penggambaran dari perasaan hampa dan kosong sang penyair. Selain itu kata-katanya yang seperti mantra seakan-akan menyiratkan bahwa puisi itu adalah doa. Hingga puisi itu merupakan hakikat dari Tuhan dan dosa. Tentang bagaimana manusia merasa berdosa dengan segala keresahan dan kesedihan sehingga semuanya hanya bisa dikembalikan pada Tuhan.

Sajak ini menggambarkan suasana optimis pada penyair. Suasana optimis ini berubah menjadi absurd, karena walaupun sudak merasa tidak mungkin tetapi masih ada usaha untuk mengapai semua itu. Dengan keyakinan semuanya akan bisa tercapai walaupun itu juga tak mungkin. Sajak ini kata-katanya dikuai oleh emosi dan rasio yang tak menentu sehingga menjadi sebuah misteri. Karena semuanya seakan hanya sebuah misteri yang seakan-akan semuanya itu sulit untuk dipahami dan terlihat tidak komunikatif. Kandungan yang tak kalah kayanya dari puisi O dapat dilihat dalam puisi mantera.

10.  Q


!    !
  !    !    !
                 !      ! !      ! !     !
                                                   !
  !    a
                            lif       !      !
     l
            l                a
        l                        a           m
                                              !!
                        Mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
1111111111111
     mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
                                                                                                (hal. 16)





Pemutusan kata itu memberi sugesti arti bahwa tidak ada makna dari huruf tersebut. Tidak ada yang bisa memaknai huruf alif lam mim kecuali Allah SWT, semuanya tinggal sia-sia saja jika ditafsirkan. Tetap saja huruf itu hanyalah dimaknai alif lam mim. Begitu juga dengan sajak “Q” karya Sutardji tersebut. Sajak tersebut berisi huruf Alim Lam Mim yang kata-kata tersebut diputus-putuskannya, dan sajak tersebut juga berisi tanda seru yang memperindah tipografi puisi tersebut.  Contoh lain yaitu sajak “Tragedi Winka & Sihka” merupakan sajak yang paling banyak mendapatkan tanggapan, yang kebanyakan berpendapat bahwa sajak ini hanya “bermain-main”

 BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3.1  Simpulan
1.      Istilah estetika berasal dari bahasa latin “aestheticus” atau bahasa Yunani “aestheticos” yang bersumber dari kata “aithe” yang berarti merasa. “Estetika dapat didefinisikan sebagai susunan bagian dari sesuatu yang mengandung pola.
2.      Estetika adalah ilmu tentang keindahan. Estetika merupakan cabang filsafat yang membahas keindahan yang melekat pada karya seni. Istilah estetis, biasanya merujuk pada indah, tentang keindahan, atau memiliki nilai keindahan.
3.      Fungsi Estetik dalam sebuah karya sastra khususnya puisi, fungsi estetiknya dominan dan di dalamnya ada unsur-unsur estetiknya.  Unsur-unsur keindahan ini merupakan unsur-unsur kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama dan gaya bahasanya.
4.      Sebuah puisi memiliki keindahan apabila puisi itu memiliki susunan atau komposisi yang memenuhi syarat sebagai berikut :
             a.      Keutuhan (unity)yang membentuk unsur-unsur sistem puisi
            b.      Keselarasan (harmony) unsur-unsur yang mendukung puisi,
             c.      Keseimbangan (balance) antara bentuk, isi, dan ekspresi, dan
            d.      Adanya fokus (right emphasis).
5.      Unsur estetika dengan kandungan dalam puisi ada beberapa poin yang dapat dilihat:
             a.      Kesatuan
            b.      Kejelasan
             c.      Kecermerlangan
            d.      Perimbangan da
             e.      Warna
6.      Macam-macam puisi sutardzi calzoum bachri yag terdapat nilai-nilai estetika yaitu ?
             a.       s e p i s a u p i
            b.      KAKEKKAKEK & BOCAH BOCAH
             c.      Mantera
            d.      Jadi
             e.      Tragedy Sinka dan Winka
             f.      Sampai
            g.      Orang Yang Tuhan
            h.      Nuh
              i.      O
              j.      Q

3.2 Saran
Tentang tugas mata kuliah Sastra Kontemporer yang membahas tentang Estetika Puisi-puisi Sutardzi Calzoum Bachri. Dalam pembuatan tugas ini penulis telah mencoba memberikan hasil penulisan dengan sebaik mugkin. Namun, tentu saja tugas ini masih banyak terdapat kekurangan yang tak luput dari perhatian penulis, baik dari struktur penulisan maupun kelengkapan informasi yang terdapat di dalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan masukan, kritik dan saran yang dapat membangun guna untuk memenuhi kesempurnaan tugas ini. Penulis juga mengharapkan semoga tulisan ini dapat menjadi acuan bagi tugas-tugas berikutnya dan menjadi salah satu referensi yang bermanfaat.


DAFTAR PUSTAKA










0 komentar:

Posting Komentar